Minggu, 24 Juli 2011

Wasiat


Bismillahirrahmanirrahiimi Alhamdu lillahi Robbil’aalamina
Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallim

Allahumma inna na’uudzubika min ‘ilmin laa yanfa’ wa min qolbin laa yakhsya wa min nafsin laa tasyba wa min ‘amalin laa yurfa’ wa min du’a in laa yustajaabu
Assalamu 'Alaikum wa Rohmah wa Barkah

Bahan Renungan Buat diriku:

Jika engkau bertemu dengan seseorang, maka yakinilah bahwa dia lebih baik darimu. Ucapkan dalam hatimu :
"Bisa jadi kedudukannya di sisi Allah swt jauh lebih baik dan lebih tinggi dariku"

Jika bertemu anak kecil, maka ucapkanlah ( dalam hatimu ) :
"Anak ini belum bermaksiat kepada Allah swt, sedangkan diriku telah banyak bermaksiat kepada-Nya. Tentu anak ini jauh lebih baik dariku"

Jika bertemu orang tua, maka ucapkanlah ( dalam hatimu ) :
"Dia telah beribadah kepada Allah swt jauh lebih lama dariku, tentu dia lebih baik dariku."

Jika bertemu dengan seorang yang berilmu, maka ucapkanlah ( dalam hatimu ) :
"Orang ini memperoleh karunia yang tidak akan kuperoleh, mencapai kedudukan yang tidak akan pernah kucapai, mengetahui apa yang tidak kuketahui dan dia mengamalkan ilmunya, tentu dia lebih baik dariku."

Jika bertemu dengan seorang yang bodoh, maka katakanlah ( dalam hatimu ) :
"Orang ini bermaksiat kepada Allah swt karena dia bodoh ( tidak tahu ), sedangkan aku bermaksiat kepada-Nya padahal aku mengetahui akibatnya. Dan aku tidak tahu bagaimana akhir umurku dan umurnya kelak. Dia tentu lebih baik dariku "

Jika bertemu dengan orang kafir, maka katakanlah ( dalam hatimu ) :
"Aku tidak tahu bagaimana keadaannya kelak, bisa jadi di akhir usianya dia memeluk agama islam dan beramal saleh. Dan bisa jadi di akhir usia, diriku kufur dan berbuat buruk "

• Anakku! Pertama-tama nasihatilah dirimu, kemudian nasihatilah orang lain. Perhatikanlah dirimu, jangan mengurusi orang lain, jangan mengurusi orang lain selama dalam dirimu masih ada sesuatu yang harus diperbaiki. Sungguh celaka, engkau mengaku tahu cara menyelamatkan orang lain! Engkau buta, bagaimana dapat menuntun orang lain? Hanya yang memiliki penglihatan tajamlah yang mampu menuntun umat manusia. Hanya seorang perenang handallah yang mampu menyelamatkan mereka dari samudera ganas. Hanya orang yang mengenal Allah swt lah yang dapat mengembalikan manusia ke jalan-Nya. Seseorang yang tidak mengenal-Nya, bagaimana dapat menuntun manusia ke jalan-Nya?
Allahu Musta'an.

Ya Rabb.. dengan berkah As Syeikh Abdul Qodir Jailani dan keturunannya, asal usulnya, cabang2nya hingga kepada Sayyidul Wujud Al Mustafa Sayyidina Muhammad ibn Abdillah maka tetapkan dan taqdirkanlah diriku, anak dan istriku, ke empat orang tuaku saudara2ku, sahabat2ku, wa jami'il muslimina wal muslimat sekarang dan kelak di yaumil hisab termasuk kedalam golongan orang2 yang mendapat syafaat dari NabiMU Sayyidina Muhammad saw. dan dapat mendapat nikmat memandang wajahMU dalam syurgaMU...amin istajib du'ana bil barkati hadi Muhammad saw. wa bi hurmati man anzalta alaihi sirril suratil Fatihah.

~ SYUHADA CINTA ~

“Barangsiapa jatuh cinta, lalu menyembunyikan cintanya, menahan diri, bersabar lalu meninggal dunia maka ia mati syahid”



Ungkapan Rasulullah SAW ini diriwayatkan oleh Suwaid bin Sa’id Al-Hadatsani, walau sejatinya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dalam risalahnya Raudhatul Muhibbin menyatakan ini sebagai hadits maudhu dan mauquf. Alasannya simpel, berdasar riwayat shahih, penjelasan Rasulullah tentang macam kesyahidan tidak pernah memasukkah dan menyebutkan sebab matinya karena jatuh cinta itu syahid. Ibnul Qoyyim mengutip hadits ini ke dalam pembahasan yang sangat indah tentang para pemuja cinta.

Namun, bila urutannya adalah jika cinta itu menjadi spirit, ia sembunyikan dengan penyembunyian yang melahirkan potensi-potensi kesalehan, ia menahan diri tidak terjerembab dalam kecintaan syahwati, geloranya ia bingkai dengan ketinggian kecintaan pada Sang Pemiliki Cinta, Al-Waduud. Lalu ia bersabar, iffah, menjaga diri dari kecintaan pada penghambaan makhluq, ia serahkan segala energi cintanya hanya untuk Allah semata. Penggambaran-penggambaran manisnya cintanya itu ia tumpahkan segalanya untuk Sang Khaliq. Lalu ia terkubur dalam timbunan-timbunan mahabbah, ia rasakan kelezatannya dalam penghambaan, lalu sampai di ujung umurnya hingga mati. Ia syahid.



Lihatlah kisah ini, kisah romantika dua manusia, dimabuk cinta. Seorang laki-laki ahli ibadah, pemuda Kuffi, cintanya menghampiri gadis cantik nan elok. Cintanya berbalas. Gadis itu sama cintanya. Bahkan ketika lamaran sang pemuda ditolak karena sang gadis telah dijodohkan dengan saudara sepupunya, mereka tetap nekad, ternyata.

Gadis itu bahkan menggodanya, “Sayang, aku akan datang padamu atau kuatur cara supaya kamu bisa menyelinap ke rumahku”. Gadis itu menghamparkan selendang syahwatnya.

“Tidak! Aku menolak kedua pilihan itu. Aku takut pada neraka yang nyalanya tak pernah padam !” Itu jawaban sang pemuda yang menghentak sang gadis. Pemuda itu menjaga diri dan memenangkan iman atas syahwatnya dengan kekuatan cinta.

“Jadi dia masih takut pada Allah?” gumam sang gadis.



Seketika ia tersadar dan dunia tiba-tiba jadi kerdil di matanya. Ia pun bertaubat dan kemudian mewakafkan dirinya untuk ibadah. Ia tenggelam dalam keseluruhan cintanya pada Al-Waduud. Walau cintanya pada sang pemuda tidak mati. Cintanya berubah jadi rindu yang mengelana dalam jiwa dan doa-doanya. Tubuhnya luluh lantak didera rindu. Ia terkubur oleh kerinduan, penggambaran kerinduannya ia arahkan pada buncahan kerinduan untuk Tuhannya. Sampai la mati, akhirnya.



Sang pemuda terhenyak. Itu mimpi buruk. Gadisnya telah pergi membawa semua cintanya. Maka kuburan sang gadislah tempat ia mencurahkan rindu dan do’a-do’anya. Sampai suatu saat ia tertidur di atas kuburan gadisnya. Tiba-tiba sang gadis hadir dalam tidurnya. Cantik. Sangat cantik jelita.

“Apa kabar? Bagaimana keadaanmu setelah kepergianku,” tanya sang gadis.

“Baik-baik saja. Kamu sendiri di sana bagaimana?” jawabnya sambil balik bertanya.

“Aku di sini dalam surga abadi, dalam nikmat dan hidup tanpa akhir,” jawab gadisnya.

“Doakan aku. Jangan pernah lupa padaku. Aku selalu ingat padamu. Kapan aku bisa bertemu denganmu?” tanya sang pemuda lagi.



“Aku juga tidak pernah lupa padamu. Aku selalu berdoa agar Allah menyatukan kita di surga. Teruslah beribadah. Sebentar lagi kamu akan menyusulku,” jawab sang gadis.



Hanya tujuh malam setelah mimpi itu, sang pemuda pun menemui ajalnya. Dalam hujaman kecintaan kepada Rabbnya.





Ustadz Anis Matta mengomentari kisah ini dengan ungkapan:

“Atas nama cinta ia memenangkan Allah atas dirinya sendiri, memenangkan iman atas syahwatnya sendiri. Atas nama cinta pula Allah mempertemukan mereka. Cinta selalu bekerja dengan cara itu”. Subhanallah...



Tak ada yang dapat menafikan. Ia mati dalam seindah kematian. Energi cintanya mewariskan pengorbanan tulus.

Seperti kecintaannya sendiri terhadap kematian. Ada seribu satu kisah romantika anak manusia. Ada kisah dengan gadis cantik jelita. Ada pula kisah dengan pesona dirinya. Sama-sama pemuda. Fathi Farhat namanya. Awalnya ia mencintai dirinya, mencintai ibunya, mencintai kemulyaannya, mencintai tanahnya, keluarganya bahkan negaranya. Namun geloranya tak berhenti pada kecintaan yang absurt, ada rongga yang nampak jelas bahwa tujuan cintanya itu ia wujudkan dengan keinginannya untuk merdeka, merdeka dari penindasan yang telah mengoyak-ngoyak symbol ketauhidannya. Sang Khaliq telah memerdekakannya dari segala belenggu. Ia menyimpan cintanya menjadi gunungan-gunungan mahabbah menuju cita-citanya beriring bersamna kafilah para syuhada’. Ia bersabar bagai antrian syuhada’. Menyusuli para qiyadahnya, yang rindu bersalam jumpa, rindu dengan penyapaan penjaga pintu surge, dengan penyapaan salaamun alaikum thibtum fadhuluuhaa, khaalidin (selamat atas kalian, dan segeralah masuk ke dalam surga dengan kekal).

Gambaran surga itulah yang mampu mengokohkan kecintaan dan kerinduannya pada kenikmatan yang abadi walau ditebus dengan kematian. Sama nikmat kematiannya walau ditempuh dengan derita yang sekejap saja. Ia bersabar, menunggu antrian saat terindah menjemput kematian.





We will not go down

In the night, without a fight

You can burn up our mosques and our homes and our schools

But our spirit will never die

We will not go down

In Gaza tonight (Michael Heart, We Will Not Go Down)



Senandung cinta. Yang menggelorakan. Menghidupkan. Spirit yang tak pernah mati. Akan selalu hidup. Penuh mu’jizat kenabian. Cintanya menjadi pengokoh. Membangunkan spiritnya untuk tidak pernah menyerah. But our spirit will never die. Kelak takdir menghampirinya bahwa kemenangan akan datang untuknya walau dengan washilah ‘perantara’ batu-batu yang menghujam musuh-musuhnya. Ini kisah yang membangkitkan, kisah cinta. Bila dua kisah ini adalah kisah kesabaran dan kesadaran untuk bersandar pada Sang Pemilik Cinta. Maka kematiannya yang dicintainya menjadi jalan menuju kesyahidan.

Mendidik dgnn Keteladanan


Mendidik dengan Keteladanan

Assalamu'alaikum wr. wb.

Sebagai agama yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, Islam telah mengatur pula masalah pendidikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi teladan, apa dan bagaimana memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak. Karenanya, adalah sebuah kemestian, seseorang yang menghendaki pendidikan anaknya membuahkan hasil terbaik untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Pendidikan yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan dilandasi hawa nafsu. Tidak pula lantaran menjiplak model-model pendidikan yang berkembang di masa itu. Tapi, apa yang diajarkan benar-benar karena didasari wahyu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Bagi seorang muslim wajib hukumnya meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk dalam masalah pendidikan. Islam tidak akan menolerir model-model pendidikan yang meracuni anak didik dengan nilai-nilai kesyirikan, kekufuran, dan kerusakan akhlak. Di tengah dahsyatnya gempuran berbagai model pendidikan yang dijejalkan kepada kaum muslimin, keharusan untuk merujuk kepada apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu yang sangat urgen (penting). Maka, tiada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

Bagaimana model pendidikan yang diterapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Yang utama sekali ditanamkan adalah menyangkut masalah tauhid, mengenyahkan kesyirikan. Ajari dan pahamkan anak dengan masalah tauhid. Lantaran misi menanamkan tauhid dan memberantas kesyirikan inilah para rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala diutus kepada kaumnya. Nabi Nuh ‘alaihissalam diutus kepada kaumnya, misi utamanya adalah mendakwahkan dan mendidik kaumnya dengan tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya.’ Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59)

Begitu pula yang diserukan para nabiyullah yang lainnya, seperti Nabi Hud ‘alaihissalam yang diutus kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih ‘alaihissalam yang diutus kepada kaum Tsamud, dan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam yang berdakwah kepada penduduk Madyan. Semuanya mendakwahkan satu seruan, yaitu:

اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada ilah bagimu (yang berhak disembah) selain-Nya.” (Al-A’raf: 65, 78, 85)
Semua menyerukan kalimat yang sama: tauhid. Semua memberikan pendidikan dan pengajaran kepada umatnya dengan kalimat yang satu, yaitu tauhid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan wejangan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, yang kala itu hendak diutus berdakwah ke Yaman, juga agar mendidik penduduk Yaman dengan tauhid.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal kala dia hendak diutus ke Yaman:

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَاْدعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ

“Sesungguhnya engkau akan tiba pada suatu kaum dari ahli kitab. Maka jika engkau datang kepada mereka, dakwahilah kepada persaksian bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasulullah.” (HR. Al-Bukhari no. 4347)

Tauhid menjadi awal dan dasar bagi pendidikan. Diungkapkan Ibnul Qayyim rahimahullahu, anak-anak yang telah mencapai kemampuan berbicara, ajarilah mereka (dengan menalqinkan) kalimat La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Jadikanlah apa yang diperdengarkan kepada mereka adalah tentang pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala (ma’rifatullah) dan mentauhidkan-Nya. Didik juga anak-anak bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya. Allah Maha Melihat terhadap mereka dan Maha Mendengar terhadap apa yang mereka perbincangkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa bersama mereka, di mana saja mereka berada. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, hal. 389)

Segaris dengan hal di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu pun menekankan pula, bahkan mewajibkan, untuk setiap muslim membekali diri dengan ilmu yang terkait dengan pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah, pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi perkara keberadaan-Nya, rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma wa shifat-Nya. (Ithaful ‘Uqul bi Syarhi Ats-Tsalatsatil Ushul, hal. 8)

Kenalkanlah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada anak-anak semenjak dini. Kenalkan melalui metode yang bersifat praktis dan mudah dipahami anak-anak. Satu di antara metode itu adalah dengan tanya jawab (di atas).

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak wanita. Hadits dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, menceritakan metode dialog (tanya jawab) tersebut.

قَالَ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ. قَالَ: أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Di mana Allah?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Di (atas) langit.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman’.” (Sunan Abi Dawud no. 930, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)

Demikian metode dialog yang mengalir lancar, ringan, menyentuh tanpa beban. Dialog yang lugas, tegas, menikam tajam ke dalam pusat kesadaran. Menggugah keyakinan, menumbuhkan keimanan nan makin kokoh.

Pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb bisa pula melalui metode pengenalan dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, bahwa apabila engkau ditanya, dengan apa engkau mengetahui Rabbmu. Maka jawablah: dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Dari adanya ayat-ayat-Nya yang berupa malam dan siang, matahari dan bulan, para makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di langit yang tujuh dan di bumi yang berlapis tujuh, serta makhluk-makhluk Allah yang berada di antara keduanya. (Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 22)

Kata Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami rahimahullahu saat memberi penjelasan terhadap perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu di atas, “Mengapa dalil, tanda-tanda dan ayat-ayat (dijadikan dasar) engkau mengetahui Rabbmu? Karena, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala terhijab di dunia ini dan Dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak bisa dilihat. Ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِنَّكُمْ لَنْ تَرَوْا رَبَّكُمْ حَتَّى تَمُوتُوا

“Maka sungguh kalian tidak akan pernah bisa melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” (Makna hadits ini terambil dari hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya no. 2931)

Dengan begitu, iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk iman terhadap yang gaib. Karena, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah gaib dari penglihatan dan pandanganmu. Namun Dia ada bersamamu, tidak gaib darimu dengan ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, maka Dia bersamamu. Inilah ma’iyyah khashshah atau ma’iyyah ma’nawiyah (kebersamaan secara maknawi), bukan hissiyah (inderawi). Adapun secara hissi (inderawi), Dia gaib dari dirimu. Karenanya, keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk iman pada hal yang gaib, yang membutuhkan tanda dan dalil yang menunjukkan atas wujudullah (keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala). (Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Aman Al-Jami rahimahullahu, hal. 45)

Hikmah dari mencermati dan mengamati segenap ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, selain bisa memicu rasa ingin tahu anak, juga bisa diarahkan untuk menumbuhkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Membangun kesadaran bahwa di balik semua ciptaan ini, ada yang mengatur, menjaga, memelihara dan menghidupi, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Katakan pula kepada anak, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mencipta dan mengatur setiap orang berbeda-beda. Tunjukkan karunia dan nikmat yang telah dia rasakan. Ini sebagai upaya menumbuhsuburkan rasa syukur pada diri sang anak. Sikap syukur yang tertanam dalam diri anak diharapkan akan memupus sikap tamak, rakus.

Memudahkan untuk menumbuhkan sikap mau berbagi, membantu dan menolong teman, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan sikap syukur ini pula diharap makin mendekatkan anak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memupuk jiwa tawadhu’ (rendah hati) dan tidak takabur.

Perlihatkan pula kepada anak sederetan pedagang yang menjual barang dagangan yang sama. Masing-masing pedagang tidak saling berebut pembeli dan tidak saling mematikan pesaing antara pedagang yang satu dengan yang lain. Mereka bersaing secara sehat. Masing-masing mereka mendapatkan rizki sesuai kadar yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan untuk mereka. Subhanallah! Sebuah fenomena yang memperkaya batin anak, mengasah kepekaannya dan menumbuhkan keimanan dalam aspek tauhid rububiyah. Yaitu, tauhid yang menumbuhkan keyakinan bahwa sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Maha Pencipta, Maha Pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan dan mengatur alam semesta ini. Dengan keyakinan semacam ini, anak tak perlu lagi risau, hasad, iri atau benci bila melihat temannya mendapatkan sesuatu. Dia berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu telah ditentukan rizkinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, pupuslah segala macam hasad, iri, benci di dalam hatinya. Kemudian terpancarlah dari diri anak akhlak nan mulia. Semua ini didasari tauhid yang lurus, bersih dari segala noda kesyirikan. Ibarat pohon, akarnya menghunjam kokoh ke dasar bumi, cabangnya menjulang menggapai angkasa raya, daunnya rimbun lebat meneduhkan suasana, dan buahnya bermunculan di setiap musim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ. تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25)

Demikianlah pohon keimanan. Pokok akarnya kokoh di dalam hati seorang mukmin, secara ilmu dan i’tiqad (keyakinan). Cabangnya berupa ucapan yang baik, amal shalih, akhlak yang disukai, adab (kesantunan) yang baik (yang mengarah) pada langit, yang senantiasa menapak ketinggian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari pohon itu mencuat amal-amal dan perkataan-perkataan yang membawa manfaat bagi seorang mukmin dan yang lainnya. Itulah syajaratul iman (pohon keimanan). Ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Karimirrahman (hal. 451).

Karenanya, pendidikan tauhid ini harus benar-benar mendapat perhatian. Nabi Ya’qub ‘alaihissalam saat menjelang ajal menjemput masih tetap memerhatikan masalah tauhid terhadap anak-anaknya. Ini dilukiskan dalam Al-Qur`an:

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ ءَابَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Ilahmu dan Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Ilah Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (Al-Baqarah: 133)

Pendidikan anak lainnya yang ditekankan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membaguskan semangat anak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anak dihasung untuk senantiasa melatih diri beribadah. Hingga pada masanya, anak tumbuh dewasa, dirinya telah memiliki kesadaran tinggi dalam menunaikan kewajiban ibadah. Di antara perintah yang mengharuskan anak dididik untuk menunaikan yang wajib, seperti hadits dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Suruhlah anak-anak kalian menunaikan shalat kala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila meninggalkan shalat) kala usia mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Sunan Abi Dawud no. 495. Asy-Syaikh Al-Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menyatakan hadits ini hasan shahih.)

Yang dimaksud menyuruh anak-anak, meliputi anak laki-laki dan perempuan. Mereka hendaknya dididik bisa menegakkan shalat dengan memahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Jika hingga usia sepuluh tahun tak juga mau menegakkan shalat, maka pukullah dengan pukulan yang tidak keras dan tidak meninggalkan bekas, serta tidak diperkenankan memukul wajah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 2/114)

Untuk mengarahkan anak tekun dalam beribadah memerlukan pola yang mendukung ke arah hal tersebut. Seperti, diperlukan keteladanan dari orangtua dan orang-orang di sekitar anak. Perilaku orangtua yang ‘berbicara’ itu lebih ampuh dari lisan yang berbicara. Anak akan melakukan proses imitasi (meniru) dari apa yang diperbuat orangtuanya. Syariat pun sangat tidak membuka peluang terhadap orang yang hanya bisa berbicara (menyuruh) namun dirinya tidak melakukan apa yang dikatakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3)

Dengan demikian, keteladanan sangat mengedepankan aspek perilaku dalam bentuk tindakan nyata. Bukan sekadar berbicara tanpa aksi.

Pendukung lainnya yang diperlukan agar anak tekun beribadah adalah mengondisikan lingkungan atau suasana ke arah hal itu. Manakala tiba waktu shalat, maka seluruh anggota keluarga menyiapkan diri untuk shalat. Tak ada satu orang pun yang masih santai dan tidak menghiraukan seruan untuk shalat. Kalau ada anggota keluarga yang tidak bisa memenuhi segera seruan tersebut atau berhalangan, maka hal itu harus dijelaskan kepada anak. Sehingga anak memahami sebagai hal yang dimaklumi secara syar’i.

Pendukung lainnya, seperti pemberian hadiah manakala mau beribadah secara tekun, memberikan sanksi atau hukuman yang mendidik dan menimbulkan efek jera bagi anak yang malas beribadah, menghilangkan hal-hal yang jadi penyebab anak malas ibadah, dan lain-lain.

Pendidikan penting lainnya bagi anak yaitu membentuk kepribadian anak yang beradab. Tahu etika, sopan santun. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, al-adab yaitu akhlak yang menjadikan manusia santun (beretika) karenanya. Seperti, kemuliaan, keberanian, bagus kepribadian, lapang dada, raut wajah yang berseri-seri, dan lain-lain. Jadi, al-adab adalah sebuah ungkapan tentang akhlak yang (bila) seseorang menghiasi dirinya dengan akhlak tersebut akan menjadi terpuji karenanya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 2/979)

Saat seseorang berbicara tentang adab, maka sesungguhnya dia berbicara masalah akhlak. Adab dan akhlak, satu hal yang tidak ada perbedaan padanya. Akhlak terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Mentauhidkan-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat. Seseorang yang berbuat syirik, senyatanya dia berbuat zalim yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)

Akhlak seorang muslim terhadap Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak lancang terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَ تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 1-2)

Diungkapkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu bahwa ayat ini meliputi kandungan adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengagungkan, menghormati, dan memuliakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dengan perkara keimanan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu, menunaikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi larangan-larangan-Nya. (Sehingga) menjadikannya berjalan di belakang perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh urusan mereka. Sikap mereka tidak mendahului Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak berkata sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata. Mereka tidak menyuruh sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan. Maka, sungguh inilah hakikat adab yang wajib terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan bentuk kebahagiaan seorang hamba dan keberuntungannya.(Sedangkan apabila) bersikap melancanginya, dirimu akan meninggalkan kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang langgeng. Dalam ayat ini pun terkandung larangan yang keras mendahulukan perkataan (pendapat) selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, sesungguhnya tatkala telah terang Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajib untuk mengikuti dan mendahulukannya atas selainnya. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 889)

Selain mendidik adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, anak mesti pula dididik untuk memiliki adab terhadap sesama manusia. Dalam hal ini yang utama sekali mendidik akhlak anak terhadap orangtuanya. Mendidik agar anak berbuat baik kepada kedua orangtuanya, tak semata dengan memberikan asupan ilmu. Lebih dari itu, hendaknya seorang anak diberi ruang yang bebas untuk membangun ikatan emosional dengan kedua orangtuanya, sekaligus sebagai media mempraktikkan ilmu yang didapatnya. Melalui interaksi dan komunikasi yang sehat, diharapkan ikatan itu terbentuk sehingga anak memiliki rasa kepedulian terhadap orangtuanya. Bisa saja seorang anak memiliki ilmu yang cukup dan paham tentang bagaimana harus birrul walidain (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya.

Namun manakala ikatan emosional ini tidak dibangun dan dibentuk sejak dini, jalinan kedekatan dengan orangtua pun bisa mengalami hambatan. Anak akan merasa kesulitan mengamalkan ilmu dan pemahamannya. Kepekaannya menjadi tidak tajam. Kepeduliannya pun tumpul. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)

Orangtua atau pendidik yang baik, akan senantiasa memerhatikan masalah interaksi dan komunikasi antara orangtua dan anaknya. Mendidik bukan semata mentransfer ilmu kepada anak. Lebih dari itu, bagaimana anak tersebut mengamalkan ilmunya secara benar dan berkesinambungan. Kerja sama dan komunikasi yang baik antara orangtua, anak, dan pendidik, di suatu lembaga pendidikan mutlak diperlukan. Karena anaknya sudah di pesantren, lantas orangtua tidak mau peduli kepada anaknya. Tak pernah berkomunikasi dan berinteraksi dengan sang anak. Ini adalah sikap tidak tepat. Begitu pula lembaga pendidikan di mana sang anak menimba ilmu, bisa menjadi jembatan komunikasi antara orangtua dan anak. Ini semua sebagai upaya menyongsong pendidikan anak yang lebih baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (Al-Ma`idah: 2)

Hikmah yang bisa dipetik dari perintah mendidik anak untuk shalat sejak usia tujuh tahun yaitu adanya penanaman ilmu tentang shalat itu sendiri, adanya proses pelatihan dan pengondisian yang terus-menerus sehingga ritual shalat menjadi proses ibadah yang melekat kokoh pada anak. Begitu pula aspek pengamalan dalam masalah birrul walidain, selain penanaman ilmu, perlu proses melatih, mengondisikan, mendekatkan, dan mengikatkan suasana emosional anak dengan orangtuanya. Kepedulian, perhatian dan kasih sayang orangtua kepada anak merupakan nutrisi bagi ‘kesehatan’ jiwa anak. Sehingga diharapkan anak mengalami tumbuh kembang jiwa ke arah yang lebih baik. Lebih stabil secara emosional. Matang dalam bersikap dan dewasa dalam menghadapi masalah. Tidak reaksioner, meletup-letup dan kekanak-kanakan sehingga memperkeruh masalah yang ada. Nas`alullah as-salamah wal ‘afiyah. Wallahu a’lam.